Pesan Sunan Bonang
DI kalangan ulama tertentu mungkin peranan Sunan Bonang dianggap tidak begitu menonjol dibanding wali-wali Jawa yang lain. Tetapi apabila kita mencermati manuskrip, justru Sunan Bonang yang meninggalkan warisan karya tulis paling banyak, berisi pemikiran keagamaan dan budaya bercorak sufistik.
Berikut beberapa cuplikan Suluk-suluk Blio
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Semoga manfaat …
Pesan Syeh Siti Jenar
Hidup itu bersifat baru
dilengkapi pancaindra
sebagai barang pinjaman
bila diminta pemiliknya kembali
menjadi tanah dan membusuk
hancur dan bersifat najis
karena sifatnya itu
Pancaindra tak dapat dipakai sebagai pedoman
Budi, pikiran, angan-angan, kesadaran
satu wujud dengan akal
bisa menjadi gila, sedih, bingung
lupa tidur dan sering tak jujur
ajak dengki terhadap sesama
‘tuk kebahagiaan sendiri
timbulkan jahat dan sombong
ke lembah nista nodai nama dan citra
Manusia yang hakiki
adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat
berdiri dengan sendirinya
sukma menjelma sebagai hamba
hamba menjelma pada sukma
napas sirna menuju ketiadaan
badan kembali sebagai tanah
Adanya kehidupan itu karena pribadi
ditetapkan oleh pribadi
ditetapkan oleh kehendak nyata
hidup tanpa sukma
tiada merasakan sakit atau lelah
suka duka pun musnah
berdiri sendiri menurut karsanya
hidup sesuai kehendaknya
Serat Sabdo Jati
1. Hawya pegat ngudiya ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
7. Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
12. Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
17.Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon
Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut:
Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake
kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst.
Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah: susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang),gigir panglu (pinggir dari globe),wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak
tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa
Jawa ” tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama
dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu
mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah
sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang
ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”,
ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang”
dan “batas cakrawala”.
Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi
yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad
raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,
tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling
bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi
segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti
udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada,
baik di luar maupun di dalamnya.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau
pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan
yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan
keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu
dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha
pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan
Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan”
maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab
hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri”
dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa
berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha
membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman.
Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah
melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang
membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah
menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah
dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang
di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai
simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam
bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna
itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk
bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di
Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih
mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap
sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran
katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti
adanya kepercayaan tersebut.
thank’s –Adi Soeripto
teks lengkap kidung dhandhanggulo diatas:
ana pandhita akarya wangsit ,mindha kombang sangajab ing tawang,susuh angin ngendi nggone ,lawan galihing kangkung,wekasane langit jaladri,isining wuluh wungwang lan gigiring punglu,tapaking kuntul anglayang ,manuk miber uluke ngungkuli langit,kusuma njrah ing tawang.
ngambil banyu apikulan warih ,amek geni sami adadamar,kodhok ngemuli elenge ,miwah kang banyu den khum.kang dahaan murub kabesmi .bumi pinetak ingkang pawana. katiyub,tanggal pisan kapurnaman yen anenun sonteg pisan anigesi kuda ngrap ing pandengan
….ana kayu apurwa sawiji ,wit buwana epang keblat papat,agedhong mega tumembe,apradapa kukuwung,.kembang lintang sagaar langit ,sami andaru kilat ,woh surya lan tengsu,asirat bun lawan udan,apupuncak akasa bungkah pertiwi,oyode bayu bajra
wiwitane duk anemu candhi ,gogodhongan miwah wawarangkan, sihing hyang kabesmi kabeh ,tan ana janma kang wruh yen weruho purwane dadi,candhi sagara wetan ,ingobar karuhun ,kahyangane sanghyang tunggal ,sapa reke kang jumeneng mung hartati,katong tengahing tawang
gunung agung sagara sarandil,langit ingkang amengku bawana ,kawruhana ing artine ,gunung sagara umung ,guntur sirna amengku bumi ,rug kang langit bawana,dadya weruh iku,mudya madyaning ngawiyat,mangasrama ing gunung agung sabumi,candhi candhi sagara
gunung luhure kabiri giri,sagara agung datanpa sama ,pan sampun kawruhan reke,artadaya puniku datan kena cinakreng budi,aging sampung prapta ing kuwasanipun angadeg tengahing jagad,wetan kulon lor kidul ngadhap myang nginggil,kapurba wisesa
bumi sagara gunung myang kali sagunging kang isining bawana ,kasor ing artadayane ,sagara sat kang gunung,guntur sirna guwa samya nir,singa wruh artadaya ,dadya teguh timbul,lan dadi paliyasing prang,yen lulungan kang kapapag wedi asih,sato galak suminggah
jim peri prayangan samya wedi mendhak asih sakehing drubiksa ,rumeksa siyang dalune.singa anempuh lumpuh,tan tumama ing awak mami,kang nedya tan raharja ,kabeh pan linebur,sakehe kang nedya ala,sirna kang nedya ebcik basuki,kang sinedya waluya
siyang ndalu rineksa hyang widi,dinulur saking karseng hyang sukma,kandhep ing jalma kabeh,apan wikuning wiku wikan ,liring pujasamadi dadi sasedyanira mangunah linuhung paparah hyang tegalana ,sampen yen tuwajuh jroning ati,kalis ing pancabaya
yen kinarya atunggu wong sakit ,ejim setan datan wani ngambah rineksa malaekate,nabi wali angepung ,sakeh lara samya sumingkir ,ingkang nedya mitenah ,maring awak ingsun ,rinusak dening pangeran ,eblis laknat sato mara padha mati,tumpes tapis sadaya
Sejati ing Jiwo
GOLEKANA tapake kuntul anglayang! Ngendi ana? Lan sapa wonge sing bisa nggoleki? Mbok mubenga nganti muser-muser, kuntule dhewe, yen lagi nglayang ing awang-awang, ya ora bakal bisa nggoleki tapake. Apa maneh manungsa. Diperese nganti asat keringete, diputera nganti mumet akale, langka manungsa bisa meruhi tapaking kuntul anglayang mau.
Pancen tetembungan mau ora bakal tinemu ing nalar. Tetembungan mau klebu kawruhing kasampurnan, sing isbate mung bisa dionceki srana tirakat lan laku. Mula yen arep nggayuh kawruh tapaking kuntul anglayang mau, manungsa kudu nyuwungake kekarepan lan nalare. Lire, aja dheweke gondhelan ing sakabehing gegondhelan sing saiki digondheli. Padha sawangen kuntul sing mabur dhuwur ing awang-awang! Kuntul mau ora tau nyawang tilas tapake. Merga pancen ing awang-awang mau tapake ya ora ana. Kuntul mau bisane mung miber. Lan bisane miber, merga awake kesangga, sanadyan ora ana sing nyangga.
Kesangga ning rasane ora ana sing nyangga, ya kuwi karep sing winengku dening isbating ”golekana tapaking kuntul anglayang”. Lan sepisan maneh, ngrasaake kesangga sanadyan ora ana sing nyangga bisa kelakon, yen manungsa bisa nyuwungake dhiri saka sakabehing gondhelaning uripe. Aja maneh mung raja brana, drajat lan pangkat, cekelan lan gamaning urip wae kudu diculake, yen manungsa pancen arep ngalami dhirine iki sejatine kesangga sanadyan ora ana sing nyangga.
Kawruh kasampurnan iki bisa diulur luwih dawa. Kaya dene aku bisa ngrasakake kesangga sanadyan ora ana sing nyangga merga aku suwung saka sakabehing kekarepanku, aku uga bisa ngraksakake menawa aku iku duweni sakabehing yen aku iki ora duwe apa-apa. Utawa meruhi sakabehe, merga aku ora weruh apa-apa. Apa dene, aku iki ngrasake menawa aku ini temen ana, merga aku rila menawa aku ora ana.
Yen kawruh mau wis winengku, sejatine aku wis lumebu ing dating Pangeran sing murbeng jagad raya iki. Ya dating Pangeran mau sing akarya nganti aku kesangga sanadyan ora ana sing nyangga. Ya dat mau sing murugake aku duweni sakabehe sanadyan aku ora duwe apa-apa. Lan ya dat mau sing anyipta aku ana sanadyan aku ora ana.
Aku, manungsa sing kebak ing kasekengan lan kajiret ing bandha-bandhuning kadonyan, tangeh bisa ngrasuk ing dating Pangeran mau kanthi sampurna. Bisane mung icip-icip. Mula mangkene ature Suluk Sujinah: ”Dene mangan sapulukan tegeseipun, mung Allah kacipta, kalawan nyandang sasuwir, pujinira kawayang sajroning driya.” Peribasane, sanadyan mung sapulukan anggonku mangan, aku wis krasa tuwuk, anggere Pangeran tansah cinipta ing batinku. Lan sanadyan mung sasuwir anggonku nyandang, aku wis jangkep bebusanan, anggere Pangeran tansah pinuji ing batinku. Icip-icip sapulukan, nyandhang penganggo sasuwir, iku mau wis turah-turah tumraping uripku, anggere dating Pangeran sing dakicipi, lan busanane dat mau sing daksandang.
Mula wewadining ”tapaking kuntul anglayang” lan ”kesangga ora sinangga” iku sejatine ya pasrah ing Pangeran. Nanging aku iki manungsa sing urip ing donya. Mula pasrah ing Pangeran ora liya tegese kejaba menehake awakku kanggo pepadaku. Dating Pangeran kang murugake aku bisa kaya kuntul anglayang tanpa mikirake piye tapak lan tilase nembe bisa dakrasakake, yen aku wani muluk bareng karo pepadaku, supaya pepadhaku sing kurang mangan bisa mangan, lan aku wani nyandhang sasuwir amrih pepadhaku sing kurang sandhang uga bisa nyandhang.
Kawistara, kawruh ”tapaking kuntul anglayang” sejatine dudu kawruh kang dakik-dakik, mencit tan bisa ginayuh. Ora, kawruh iku kawruhe urip padinan, kepriye anggonku wani suwung ing saben dinane. Yaiku urip sing wani bagi binagi, sanadyan kayane ora ana sing dibagi. Wani mangan sapulukan bareng sing luwe. Wani nyandhang sasuwir bareng sing kecingkrangan. Ya ana ing pepadhaku sing luwe lan kecingkrangan bakal tinemu tapaking welas asihku. Lan bungah pepujining pepadhaku merga welas asihku mau sing bakal ngumbulake aku kaya kuntul ing awang-awang sing ora nggagas arep nggoleki tapake maneh. Linuwaran saka sakabehing jejiretan, mardika mabur ning awang-awang iku kepenak lan entenge tan kena kinaya ngapa. Ya gene aku isih ribut nggoleki tapak tilase uripku
Sastro Jendro
Dalam tataran keilmuan orang jawa ada beberapa hal yang harus ditempuh jika seseorag ingin mencapai kesempurnaan hidup,salah satunya tataran yang harus dilewati tertuang dalam kitab baswalingga karya pujangga besar jawa ki rangga warsita.tataran keilmuan yang termahtub dalam kitab karya rangga warsita ini adalah tentang sastra jendra hayuningrat.
menurut ki rangga warsita bahwasannya sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup berdasarkan falsafah ajaran budha,dan apabila semua orang menaati semua ajaran sastra tadi niscaya bumi akan sejahtera,
nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha alias sastra tanpa papan dan sastra tanpa tulis,walaupun tanpa tulis dan papan tapi maknanya terang alias cetha dan bisa digunakan sebagai serat papakem paugeraning gesang.
untuk mencapai sastra cetha ada 7 tahapan yang kudu dilalui yakni
tapaning jasad: mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik lainnya,lakunya tidak dendam ,sakit hati .semua hal diterima dengan legawa-tabah dengan kesungguhan hati alis tan milih tan nolak
tapaning budhi:artinya menghilangkan perbuatan yang hina (nista) dan hal hal yang tidak jujur
tapaning hawa nafsu:mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka dari pribadi kita.lakunya sabar dan selalu berusaha menyucikan diri,punya perasaan dalam,mudah memberi maaf dan taat pada tuhan yang maha esa.
tapaning cipta:artinya memperhatikan perasaan secara sungguh sungguh atau dalam bahasa jawanya ngesti sarasaning raos ati,berusaha sekuat tenaga menuju heneng–meneng-khusyuk-tumaknina,sehingga hasilnya tidak akan diombang ambingkan oleh siapapun dan apapun dan yang akhir selalu hening-wening atau waspada supaya bisa konsentrasi ke alloh swt
tapaning sukma:dalam tahapan ini kita fokus ke ketenangan jiwa.amalnya ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan kita dengan memberi derma kepada fakir miskin secara iklas
tapaning cahya:maknanya dalam tataran ini selalu eling,awas dan waspada.sehingga hasilnya kita mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat alis waskitha,amal eling dan waspada diikuti dengan menghindari hal hal yang bersifat glamour dunia atau memabukan yang mengakibatkan batin kita menjadi samar.
tapaning gesang:dalam tahapan akhir ini kita berusaha sekuat tenaga dengan hati hati menuju kesempurnaan hidup dan taat pada Tuhan Yang Mahaesa.
ilmu sastra jendra yang aku terangkan diatas berdasarkan kebatinan jawa,sastra ini bermakna mantra berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kata lain ilmu untuk memupuk kesejahteraan dunia(memayu hayuning bawana). yang berasal dari bathara indra yang juga bermakna endra loka alias pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada(jantung),pusat dalam kaitan diatas bermakna sumber atau rasa sejati-ambang batas.hayu-ing-rat artinya menuju keselamatan dunia.
LIR-ILIR
Lir-ilir, lir-ilir
tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo… Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,? (blimbing apa??)
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
Tembang diatas sungguh luar biasa maknanya, kanjeng Sunan memberikan pelajaran hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah dan mudah diingat, coba mari kita kupas bait perbait dari makna tembang ini,
1. Lir-ilir, lir-ilir tembang ini dimulai dengan ilir-ilir artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (sejatinya tidur itu mati) bisa juga dimaknai sebagai sadarlah. Tetapi apa yang perlu dibangunkan? yaitu hidup kita (ingsun) hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? fikiran? —terserah kita yang penting disini ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan berdzikir. dzikir yang bagaimana??? (kita tanyakan pada diri kita masing-masing).
dengan berdzikir maka ada sesuatu yang dihidupkan.(kita fikirkan ini)
2. tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar kemudian dilanjutkan dengan bait berikutnya, bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Apakah ini pohon dhohir? tentu tidak pohon disini adalah pohon kalimatan toyyibah. yang akarnya tetap tertancap di bumi dan cabangnya ada empat serta tiap cabangnya menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya.
3. Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro. Bait ini memberikan petunjuk bahwa untuk mencapai buah dari pohon itu kita harus jadi anak gembala, apa yang kita gembala? ya diri kita sendiri yang perlu kita gembala, hawa kita, nafsu kita yng perlu kita gembalakan, kita didik dan kita jadikan kendaraan untuk bisa mencapai buah dari pohon toyyibah itu.
Susah susah ya ambil buah itu, meskipun susah buah dari pohon itu harus kita ambil untuk mencuci pakaian kita, pakaian dhohir? tetnu bukan, pakaian disini adalah pakaian Taqwa, pakaian taqwa ini harus kita cuci dengan buah dari pohon itu.
4. Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Pakaian kita (taqwa) harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“. Kemudian jika pakaian kita sudah dibersihkan, sudah kita rajut sangat indah maka pakaian kita itu kita kenakan, kita pakai untuk kembali ke Tuhan (Inna LILLAH).
5. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo… Bait ini mengingatkan kita untuk cepat-cepat bangun/sadar, cepat mengambil buah dari pohon toyyibah, kemudian mencuci pakaian dengan sari buah/air dari pohon toyyibah tersebut untuk mencuci pakaian kita (pakaian Taqwa). dengan pakaian Taqwa itu kita kembil ke Tuhan dengan menggunakan pakain yang indah. sehingga kita kembali ke pada-NYA sebagai Muttaqin.
Mumpung masih ada kesempatan, mari kita cepat-cepat untuk mengambil buah Itu, untuk bisa mencapai buah itu, kita harus bangun/sadar/nglilir dari tidak sadar/tidur, karena untuk mencapai buah itu sangat licin, mudah terpeleset jadi harus sadar, untuk bisa sadar harus Dzikir karena Dzikir itu untuk menyadarkan ruh kita dan mengingat Tuhan. (Keluar dari Lupa, masuk Kepada Ingat)
sehingga kita bisa mengambil buah itu, kita pakai untuk mencuci pakaian Taqwa kemudian kita
Inna LILLAHI wa Inna ILLAIHI ROJIUUN. “sesunggunya saya dari Alloh, dan kembali kepada Alloh”. Amiin
Berikut beberapa cuplikan Suluk-suluk Blio
Dalam Suluk Kaderesan, Sunan Bonang menulis:
Jangan meninggikan diri
Berlindunglah kepada-Nya
Ketahuilah tempat sebenarnya jasad ialah roh
Jangan bertanya
Jangan memuja para nabi dan wali-wali
Jangan kau mengaku Tuhan.
Dalam Suluk Ing Aewuh ia menyatakan:
Perkuat dirimu dengan ikhtiar dan amal
Teguhlah dalam sikap tak mementingkan dunia
Namun jangan jadikan pengetahuan rohani sebagai tujuan
Renungi dalam-dalam dirimu agar niatmu terkabul
Kau adalah pancaran kebenaran ilahi
Jalan terbaik ialah tidak mamandang selain Dia.
Semoga manfaat …
Pesan Syeh Siti Jenar
Hidup itu bersifat baru
dilengkapi pancaindra
sebagai barang pinjaman
bila diminta pemiliknya kembali
menjadi tanah dan membusuk
hancur dan bersifat najis
karena sifatnya itu
Pancaindra tak dapat dipakai sebagai pedoman
Budi, pikiran, angan-angan, kesadaran
satu wujud dengan akal
bisa menjadi gila, sedih, bingung
lupa tidur dan sering tak jujur
ajak dengki terhadap sesama
‘tuk kebahagiaan sendiri
timbulkan jahat dan sombong
ke lembah nista nodai nama dan citra
Manusia yang hakiki
adalah wujud hak, kemandirian dan kodrat
berdiri dengan sendirinya
sukma menjelma sebagai hamba
hamba menjelma pada sukma
napas sirna menuju ketiadaan
badan kembali sebagai tanah
Adanya kehidupan itu karena pribadi
ditetapkan oleh pribadi
ditetapkan oleh kehendak nyata
hidup tanpa sukma
tiada merasakan sakit atau lelah
suka duka pun musnah
berdiri sendiri menurut karsanya
hidup sesuai kehendaknya
Serat Sabdo Jati
1. Hawya pegat ngudiya ronging budyayu
Margane suka basuki
Dimen luwar kang kinayun
Kalising panggawe sisip
Ingkang taberi prihatos
Jangan berhenti selalulah berusaha berbuat kebajikan,
agar mendapat kegembiraan serta keselamatan serta tercapai segala cita-cita,
terhindar dari perbuatan yang bukan-bukan, caranya haruslah gemar prihatin.
2. Ulatna kang nganti bisane kepangguh
Galedehan kang sayekti
Talitinen awya kleru
Larasen sajroning ati
Tumanggap dimen tumanggon
Dalam hidup keprihatinan ini pandanglah dengan seksama,
intropeksi, telitilah jangan sampai salah, endapkan didalam hati,
agar mudah menanggapi sesuatu.
3. Pamanggone aneng pangesthi rahayu
Angayomi ing tyas wening
Eninging ati kang suwung
Nanging sejatining isi
Isine cipta sayektos
Dapatnya demikian kalau senantiasa mendambakan kebaikan,
mengendapkan pikiran, dalam mawas diri sehingga seolah-olah hati ini kosong
namun sebenarnya akan menemukan cipta yang sejati.
4. Lakonana klawan sabaraning kalbu
Lamun obah niniwasi
Kasusupan setan gundhul
Ambebidung nggawa kendhi
Isine rupiah kethon
Segalanya itu harus dijalankan dengan penuh kesabaran.
Sebab jika bergeser (dari hidup yang penuh kebajikan)
akan menderita kehancuran. Kemasukan setan gundul,
yang menggoda membawa kendi berisi uang banyak.
5. Lamun nganti korup mring panggawe dudu
Dadi panggonaning iblis
Mlebu mring alam pakewuh
Ewuh mring pananing ati
Temah wuru kabesturon
Bila terpengaruh akan perbuatan yang bukan-bukan,
sudah jelas akan menjadi sarang iblis, senantiasa mendapatkan kesulitas-kesulitan, kerepotan-kerepotan, tidak dapat berbuat dengan itikad hati yang baik,
seolah-olah mabuk kepayang.
6. Nora kengguh mring pamardi reh budyayu
Hayuning tyas sipat kuping
Kinepung panggawe rusuh
Lali pasihaning Gusti
Ginuntingan dening Hyang Manon
Bila sudah terlanjur demikian tidak tertarik terhadap perbuatan
yang menuju kepada kebajikan. Segala yang baik-baik lari dari dirinya,
sebab sudah diliputi perbuatan dan pikiran yang jelek.
Sudah melupakan Tuhannya. Ajaran-Nya sudah musnah berkeping-keping.
7. Parandene kabeh kang samya andulu
Ulap kalilipen wedhi
Akeh ingkang padha sujut
Kinira yen Jabaranil
Kautus dening Hyang Manon
Namun demikian yang melihat, bagaikan matanya kemasukan pasir,
tidak dapat membedakan yang baik dan yang jahat, sehingga
yang jahat disukai dianggap utusan Tuhan.
8. Yeng kang uning marang sejatining dawuh
Kewuhan sajroning ati
Yen tiniru ora urus
Uripe kaesi-esi
Yen niruwa dadi asor
Namun bagi yang bijaksana, sebenarnya repot didalam pikiran
melihat contoh-contoh tersebut. Bila diikuti hidupnya akan
tercela akhirnya menjadi sengsara.
9. Nora ngandel marang gaibing Hyang Agung
Anggelar sakalir-kalir
Kalamun temen tinemu
Kabegjane anekani
Kamurahane Hyang Manon
Itu artinya tidak percaya kepada Tuhan, yang menitahkan bumi dan
langit, siapa yang berusaha dengan setekun-tekunnya akan mendapatkan
kebahagiaan. Karena Tuhan itu Maha Pemurah adanya.
10. Hanuhoni kabeh kang duwe panuwun
Yen temen-temen sayekti
Dewa aparing pitulung
Nora kurang sandhang bukti
Saciptanira kelakon
Segala permintaan umatNya akan selalu diberi, bila dilakukan dengan setulus hati.
Tuhan akan selalu memberi pertolongan, sandang pangan tercukupi
segala cita-cita dan kehendaknya tercapai.
11. Ki Pujangga nyambi paraweh pitutur
Saka pengunahing Widi
Ambuka warananipun
Aling-aling kang ngalingi
Angilang satemah katon
Sambil memberi petuah Ki Pujangga juga akan membuka selubung
yang termasuk rahasia Tuhan, sehingga dapat diketahui.
12. Para jalma sajroning jaman pakewuh
Sudranira andadi
Rahurune saya ndarung
Keh tyas mirong murang margi
Kasekten wus nora katon
Manusia-manusia yang hidup didalam jaman kerepotan,
cenderung meningkatnya perbuatan-perbuatan tercela,
makin menjadi-jadi, banyak pikiran-pikiran yang tidak berjalan
diatas riil kebenaran, keagungan jiwa sudah tidak tampak.
13. Katuwane winawas dahat matrenyuh
Kenyaming sasmita sayekti
Sanityasa tyas malatkunt
Kongas welase kepati
Sulaking jaman prihatos
Lama kelamaan makin menimbulkan perasaan prihatin, merasakan ramalan tersebut,
senantiasa merenung diri melihat jaman penuh keprihatinan tersebut.
14. Waluyane benjang lamun ana wiku
Memuji ngesthi sawiji
Sabuk tebu lir majenum
Galibedan tudang tuding
Anacahken sakehing wong
Jaman yang repot itu akan selesai kelak bila sudah mencapat tahun 1877
(Wiku=7, Memuji=7, Ngesthi=8, Sawiji=1. Itu bertepatan dengan tahun Masehi 1945).
Ada orang yang berikat pinggang tebu perbuatannya seperti orang gila,
hilir mudik menunjuk kian kemari, menghitung banyaknya orang.
15. Iku lagi sirap jaman Kala Bendu
Kala Suba kang gumanti
Wong cilik bisa gumuyu
Nora kurang sandhang bukti
Sedyane kabeh kelakon
Disitulah baru selesai Jaman Kala Bendu. Diganti dengan jaman Kala Suba.
Dimana diramalkan rakyat kecil bersuka ria, tidak kekurangan sandang dan makan
seluruh kehendak dan cita-citanya tercapai.
16. Pandulune Ki Pujangga durung kemput
Mulur lir benang tinarik
Nanging kaseranging ngumur
Andungkap kasidan jati
Mulih mring jatining enggon
Sayang sekali “pengelihatan” Sang Pujangga belum sampai selesai,
bagaikan menarik benang dari ikatannya.
Namun karena umur sudah tua sudah merasa hampir
datang saatnya meninggalkan dunia yang fana ini.
17.Amung kurang wolung ari kang kadulu
Tamating pati patitis
Wus katon neng lokil makpul
Angumpul ing madya ari
Amerengi Sri Budha Pon
Yang terlihat hanya kurang 8 hai lagi, sudah sampai waktunya,
kembali menghadap Tuhannya. Tepatnya pada hari Rabu Pon.
18. Tanggal kaping lima antarane luhur
Selaning tahun Jimakir
Taluhu marjayeng janggur
Sengara winduning pati
Netepi ngumpul sak enggon
Tanggal 5 bulan Sela
(Dulkangidah) tahun Jimakir Wuku Tolu,
Windu Sengara (atau tanggal 24 Desember 1873)
kira-kira waktu Lohor, itulah saat yang ditentukan
sang Pujangga kembali menghadap Tuhan.
19. Cinitra ri budha kaping wolulikur
Sawal ing tahun Jimakir
Candraning warsa pinetung
Sembah mekswa pejangga ji
Ki Pujangga pamit layoti
kidung dhandhanggula, digambarkan sebagai berikut:
Ana pandhita akarya wangsit, kaya kombang anggayuh tawang, susuh angin ngendi
nggone, lawan galihing kangkung, watesane langit jaladri, tapake
kuntul nglayang lan gigiring panglu, dst.
Di sini jelas bahwa “sesuatu” yang dicari itu adalah: susuh angin (sarang angin), ati banyu (hati air), galih kangkung (galih kangkung), tapak kuntul nglayang (bekas burung terbang),gigir panglu (pinggir dari globe),wates langit (batas cakrawala), yang merupakan sesuatu yang “tidak
tergambarkan” atau “tidak dapat disepertikan” yang dalam bahasa
Jawa ” tan kena kinaya ngapa” yang pengertiannya sama
dengan “Acintya” dalam ajaran Hindu.
Dengan pengertian “acintya” atau “sesuatu yang tak tergambarkan” itu
mereka ingin menyatakan bahwa hakekat Tuhan adalah
sebuah “kekosongan”, atau “suwung”, Kekosongan adalah sesuatu yang
ada tetapi tak tergambarkan. Semua yang dicari dalam kidung
dhandhanggula di atas adalah “kekosongan” Susuh angin itu “kosong”,
ati banyu pun “kosong”, demikian pula “tapak kuntul nglayang”
dan “batas cakrawala”.
Jadi hakekat Tuhan adalah “kekosongan abadi
yang padat energi”, seperti areal hampa udara yang menyelimuti jagad
raya, yang meliputi segalanya secara immanen sekaligus transenden,
tak terbayangkan namun mempunyai energi luar biasa, hingga membuat
semua benda di angkasa berjalan sesuai kodratnya dan tidak saling
bertabrakan. Sang “kosong” atau “suwung” itu meliputi
segalanya, “suwung iku anglimputi sakalir kang ana”. Ia seperti
udara yang tanpa batas dan keberadaannya menyelimuti semua yang ada,
baik di luar maupun di dalamnya.
Karena pada diri kita ada Atman, yang tak lain adalah cahaya atau
pancaran energi Tuhan, maka hakekat Atman adalah juga “kekosongan
yang padat energi itu”. Dengan demikian apabila dalam diri kita
hanya ada Atman, tanpa ada muatan yang lain, misalnya nafsu dan
keinginan, maka “energi Atman” itu akan berhubungan atau menyatu
dengan sang “sumber energi”. Untuk itu yang diperlukan dalam usaha
pencarian adalah mempelajari proses “penyatuan” antara Atman dengan
Brahman itu. Logikanya, apabila hakekat Tuhan adalah “kekosongan”
maka untuk menyatukan diri, maka diri kita pun harus “kosong”, Sebab
hanya “yang kosonglah yang dapat menyatu dengan sang maha kosong”.
Caranya dengan berusaha “mengosongkan diri” atau “membersihkan diri”
dengan “menghilangan muatan-muatan yang membebani Atman” yang berupa
berbagai nafsu dan keinginan. Dengan kata lain berusaha
membangkitkan energi Atman agar tersambung dengan energi Brahman.
Dengan uraian di atas maka cara yang harus ditempuh adalah
melaksanakan “yoga samadi”, yang intinya adalah menghentikan segala
aktifitas pikiran beserta semua nafsu dan keinginan yang
membebaninya. Sebab pikiran yang selalu bekerja tak akan pernah
menjadikan diri “kosong”. Karena itu salah satu caranya adalah
dengan “Amati Karya”, menghentikan segala aktifitas kerja.
Apabila “kekosongan” merupakan hakekat Tuhan, apakah Padmasana, yang
di bagian atasnya berbentuk “kursi kosong”, dan dianggap sebagai
simbol singgasana “Sang Maha Kosong” itu adalah perwujudan dalam
bentuk lain dari apa yang dicari orang Jawa lewat kidung-kidung kuna
itu? Apa sebabnya di Jawa tidak ada dan baru diwujudkan dalam bentuk
bangunan ketika leluhur Jawa berada di Bali? Mungkin saat itu di
Jawa memang tidak membutuhkan hal itu, karena masyarakat Jawa lebih
mementingkan “pemujaan leluhur”, yang dianggap
sebagai “pengejawantahan Tuhan”. Kata-kata Wong tuwa iku Pangeran
katon atau Orang tua (leluhur) itu Tuhan yang nampak, adalah bukti
adanya kepercayaan tersebut.
thank’s –Adi Soeripto
teks lengkap kidung dhandhanggulo diatas:
ana pandhita akarya wangsit ,mindha kombang sangajab ing tawang,susuh angin ngendi nggone ,lawan galihing kangkung,wekasane langit jaladri,isining wuluh wungwang lan gigiring punglu,tapaking kuntul anglayang ,manuk miber uluke ngungkuli langit,kusuma njrah ing tawang.
ngambil banyu apikulan warih ,amek geni sami adadamar,kodhok ngemuli elenge ,miwah kang banyu den khum.kang dahaan murub kabesmi .bumi pinetak ingkang pawana. katiyub,tanggal pisan kapurnaman yen anenun sonteg pisan anigesi kuda ngrap ing pandengan
….ana kayu apurwa sawiji ,wit buwana epang keblat papat,agedhong mega tumembe,apradapa kukuwung,.kembang lintang sagaar langit ,sami andaru kilat ,woh surya lan tengsu,asirat bun lawan udan,apupuncak akasa bungkah pertiwi,oyode bayu bajra
wiwitane duk anemu candhi ,gogodhongan miwah wawarangkan, sihing hyang kabesmi kabeh ,tan ana janma kang wruh yen weruho purwane dadi,candhi sagara wetan ,ingobar karuhun ,kahyangane sanghyang tunggal ,sapa reke kang jumeneng mung hartati,katong tengahing tawang
gunung agung sagara sarandil,langit ingkang amengku bawana ,kawruhana ing artine ,gunung sagara umung ,guntur sirna amengku bumi ,rug kang langit bawana,dadya weruh iku,mudya madyaning ngawiyat,mangasrama ing gunung agung sabumi,candhi candhi sagara
gunung luhure kabiri giri,sagara agung datanpa sama ,pan sampun kawruhan reke,artadaya puniku datan kena cinakreng budi,aging sampung prapta ing kuwasanipun angadeg tengahing jagad,wetan kulon lor kidul ngadhap myang nginggil,kapurba wisesa
bumi sagara gunung myang kali sagunging kang isining bawana ,kasor ing artadayane ,sagara sat kang gunung,guntur sirna guwa samya nir,singa wruh artadaya ,dadya teguh timbul,lan dadi paliyasing prang,yen lulungan kang kapapag wedi asih,sato galak suminggah
jim peri prayangan samya wedi mendhak asih sakehing drubiksa ,rumeksa siyang dalune.singa anempuh lumpuh,tan tumama ing awak mami,kang nedya tan raharja ,kabeh pan linebur,sakehe kang nedya ala,sirna kang nedya ebcik basuki,kang sinedya waluya
siyang ndalu rineksa hyang widi,dinulur saking karseng hyang sukma,kandhep ing jalma kabeh,apan wikuning wiku wikan ,liring pujasamadi dadi sasedyanira mangunah linuhung paparah hyang tegalana ,sampen yen tuwajuh jroning ati,kalis ing pancabaya
yen kinarya atunggu wong sakit ,ejim setan datan wani ngambah rineksa malaekate,nabi wali angepung ,sakeh lara samya sumingkir ,ingkang nedya mitenah ,maring awak ingsun ,rinusak dening pangeran ,eblis laknat sato mara padha mati,tumpes tapis sadaya
Sejati ing Jiwo
GOLEKANA tapake kuntul anglayang! Ngendi ana? Lan sapa wonge sing bisa nggoleki? Mbok mubenga nganti muser-muser, kuntule dhewe, yen lagi nglayang ing awang-awang, ya ora bakal bisa nggoleki tapake. Apa maneh manungsa. Diperese nganti asat keringete, diputera nganti mumet akale, langka manungsa bisa meruhi tapaking kuntul anglayang mau.
Pancen tetembungan mau ora bakal tinemu ing nalar. Tetembungan mau klebu kawruhing kasampurnan, sing isbate mung bisa dionceki srana tirakat lan laku. Mula yen arep nggayuh kawruh tapaking kuntul anglayang mau, manungsa kudu nyuwungake kekarepan lan nalare. Lire, aja dheweke gondhelan ing sakabehing gegondhelan sing saiki digondheli. Padha sawangen kuntul sing mabur dhuwur ing awang-awang! Kuntul mau ora tau nyawang tilas tapake. Merga pancen ing awang-awang mau tapake ya ora ana. Kuntul mau bisane mung miber. Lan bisane miber, merga awake kesangga, sanadyan ora ana sing nyangga.
Kesangga ning rasane ora ana sing nyangga, ya kuwi karep sing winengku dening isbating ”golekana tapaking kuntul anglayang”. Lan sepisan maneh, ngrasaake kesangga sanadyan ora ana sing nyangga bisa kelakon, yen manungsa bisa nyuwungake dhiri saka sakabehing gondhelaning uripe. Aja maneh mung raja brana, drajat lan pangkat, cekelan lan gamaning urip wae kudu diculake, yen manungsa pancen arep ngalami dhirine iki sejatine kesangga sanadyan ora ana sing nyangga.
Kawruh kasampurnan iki bisa diulur luwih dawa. Kaya dene aku bisa ngrasakake kesangga sanadyan ora ana sing nyangga merga aku suwung saka sakabehing kekarepanku, aku uga bisa ngraksakake menawa aku iku duweni sakabehing yen aku iki ora duwe apa-apa. Utawa meruhi sakabehe, merga aku ora weruh apa-apa. Apa dene, aku iki ngrasake menawa aku ini temen ana, merga aku rila menawa aku ora ana.
Yen kawruh mau wis winengku, sejatine aku wis lumebu ing dating Pangeran sing murbeng jagad raya iki. Ya dating Pangeran mau sing akarya nganti aku kesangga sanadyan ora ana sing nyangga. Ya dat mau sing murugake aku duweni sakabehe sanadyan aku ora duwe apa-apa. Lan ya dat mau sing anyipta aku ana sanadyan aku ora ana.
Aku, manungsa sing kebak ing kasekengan lan kajiret ing bandha-bandhuning kadonyan, tangeh bisa ngrasuk ing dating Pangeran mau kanthi sampurna. Bisane mung icip-icip. Mula mangkene ature Suluk Sujinah: ”Dene mangan sapulukan tegeseipun, mung Allah kacipta, kalawan nyandang sasuwir, pujinira kawayang sajroning driya.” Peribasane, sanadyan mung sapulukan anggonku mangan, aku wis krasa tuwuk, anggere Pangeran tansah cinipta ing batinku. Lan sanadyan mung sasuwir anggonku nyandang, aku wis jangkep bebusanan, anggere Pangeran tansah pinuji ing batinku. Icip-icip sapulukan, nyandhang penganggo sasuwir, iku mau wis turah-turah tumraping uripku, anggere dating Pangeran sing dakicipi, lan busanane dat mau sing daksandang.
Mula wewadining ”tapaking kuntul anglayang” lan ”kesangga ora sinangga” iku sejatine ya pasrah ing Pangeran. Nanging aku iki manungsa sing urip ing donya. Mula pasrah ing Pangeran ora liya tegese kejaba menehake awakku kanggo pepadaku. Dating Pangeran kang murugake aku bisa kaya kuntul anglayang tanpa mikirake piye tapak lan tilase nembe bisa dakrasakake, yen aku wani muluk bareng karo pepadaku, supaya pepadhaku sing kurang mangan bisa mangan, lan aku wani nyandhang sasuwir amrih pepadhaku sing kurang sandhang uga bisa nyandhang.
Kawistara, kawruh ”tapaking kuntul anglayang” sejatine dudu kawruh kang dakik-dakik, mencit tan bisa ginayuh. Ora, kawruh iku kawruhe urip padinan, kepriye anggonku wani suwung ing saben dinane. Yaiku urip sing wani bagi binagi, sanadyan kayane ora ana sing dibagi. Wani mangan sapulukan bareng sing luwe. Wani nyandhang sasuwir bareng sing kecingkrangan. Ya ana ing pepadhaku sing luwe lan kecingkrangan bakal tinemu tapaking welas asihku. Lan bungah pepujining pepadhaku merga welas asihku mau sing bakal ngumbulake aku kaya kuntul ing awang-awang sing ora nggagas arep nggoleki tapake maneh. Linuwaran saka sakabehing jejiretan, mardika mabur ning awang-awang iku kepenak lan entenge tan kena kinaya ngapa. Ya gene aku isih ribut nggoleki tapak tilase uripku
Sastro Jendro
Dalam tataran keilmuan orang jawa ada beberapa hal yang harus ditempuh jika seseorag ingin mencapai kesempurnaan hidup,salah satunya tataran yang harus dilewati tertuang dalam kitab baswalingga karya pujangga besar jawa ki rangga warsita.tataran keilmuan yang termahtub dalam kitab karya rangga warsita ini adalah tentang sastra jendra hayuningrat.
menurut ki rangga warsita bahwasannya sastra jendra hayuningrat adalah jalan atau cara untuk mencapai kesempurnaan hidup berdasarkan falsafah ajaran budha,dan apabila semua orang menaati semua ajaran sastra tadi niscaya bumi akan sejahtera,
nama lain dari sastra jendra hayuningrat adalah sastra cetha alias sastra tanpa papan dan sastra tanpa tulis,walaupun tanpa tulis dan papan tapi maknanya terang alias cetha dan bisa digunakan sebagai serat papakem paugeraning gesang.
untuk mencapai sastra cetha ada 7 tahapan yang kudu dilalui yakni
tapaning jasad: mengendalikan atau menghentikan gerak tubuh dan gerak fisik lainnya,lakunya tidak dendam ,sakit hati .semua hal diterima dengan legawa-tabah dengan kesungguhan hati alis tan milih tan nolak
tapaning budhi:artinya menghilangkan perbuatan yang hina (nista) dan hal hal yang tidak jujur
tapaning hawa nafsu:mengendalikan nafsu atau sifat angkara murka dari pribadi kita.lakunya sabar dan selalu berusaha menyucikan diri,punya perasaan dalam,mudah memberi maaf dan taat pada tuhan yang maha esa.
tapaning cipta:artinya memperhatikan perasaan secara sungguh sungguh atau dalam bahasa jawanya ngesti sarasaning raos ati,berusaha sekuat tenaga menuju heneng–meneng-khusyuk-tumaknina,sehingga hasilnya tidak akan diombang ambingkan oleh siapapun dan apapun dan yang akhir selalu hening-wening atau waspada supaya bisa konsentrasi ke alloh swt
tapaning sukma:dalam tahapan ini kita fokus ke ketenangan jiwa.amalnya ikhlas dan memperluas rasa kedermawanan kita dengan memberi derma kepada fakir miskin secara iklas
tapaning cahya:maknanya dalam tataran ini selalu eling,awas dan waspada.sehingga hasilnya kita mempunyai daya meramalkan sesuatu secara tepat alis waskitha,amal eling dan waspada diikuti dengan menghindari hal hal yang bersifat glamour dunia atau memabukan yang mengakibatkan batin kita menjadi samar.
tapaning gesang:dalam tahapan akhir ini kita berusaha sekuat tenaga dengan hati hati menuju kesempurnaan hidup dan taat pada Tuhan Yang Mahaesa.
ilmu sastra jendra yang aku terangkan diatas berdasarkan kebatinan jawa,sastra ini bermakna mantra berdasarkan ilmu pengetahuan dengan kata lain ilmu untuk memupuk kesejahteraan dunia(memayu hayuning bawana). yang berasal dari bathara indra yang juga bermakna endra loka alias pusat tubuh manusia yang berada di dalam rongga dada(jantung),pusat dalam kaitan diatas bermakna sumber atau rasa sejati-ambang batas.hayu-ing-rat artinya menuju keselamatan dunia.
LIR-ILIR
Lir-ilir, lir-ilir
tandure wus sumilir
Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar
Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi
Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro
Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir
Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore
Mumpung padhang rembulane mumpung jembar kalangane
Yo surako… surak hiyo… Sayup-sayup bangun (dari tidur)
Pohon sudah mulai bersemi,
Demikian menghijau bagaikan gairah pengantin baru
Anak penggembala, tolong panjatkan pohon blimbing itu,? (blimbing apa??)
walaupun licin(susah) tetap panjatlah untuk mencuci pakaian
Pakaian-pakaian yang koyak(buruk) disisihkan
Jahitlah, benahilah untuk menghadap nanti sore
Mumpung terang rembulannya
Mumpung banyak waktu luang
Mari bersorak-sorak ayo…
Tembang diatas sungguh luar biasa maknanya, kanjeng Sunan memberikan pelajaran hakikat kehidupan dalam bentuk syair yang indah dan mudah diingat, coba mari kita kupas bait perbait dari makna tembang ini,
1. Lir-ilir, lir-ilir tembang ini dimulai dengan ilir-ilir artinya bangun-bangun atau bisa diartikan hiduplah (sejatinya tidur itu mati) bisa juga dimaknai sebagai sadarlah. Tetapi apa yang perlu dibangunkan? yaitu hidup kita (ingsun) hidupnya Apa ? Ruh? kesadaran ? fikiran? —terserah kita yang penting disini ada sesuatu yang dihidupkan, dan jangan lupa disini ada unsur angin, berarti cara menghidupkannya ada gerak..(kita fikirkan ini)..gerak menghasilkan udara. ini adalah ajakan berdzikir. dzikir yang bagaimana??? (kita tanyakan pada diri kita masing-masing).
dengan berdzikir maka ada sesuatu yang dihidupkan.(kita fikirkan ini)
2. tandure wus sumilir, Tak ijo royo-royo tak senggo temanten anyar kemudian dilanjutkan dengan bait berikutnya, bait ini mengandung makna kalau sudah berdzikir maka disitu akan didapatkan manfaat yang dapat menghidupkan pohon yang hijau dan indah. Apakah ini pohon dhohir? tentu tidak pohon disini adalah pohon kalimatan toyyibah. yang akarnya tetap tertancap di bumi dan cabangnya ada empat serta tiap cabangnya menghasilkan buah makrifat atas izin Tuhannya.
3. Cah angon-cah angon penekno blimbing kuwi, Lunyu-lunyu yo penekno kanggo mbasuh dodotiro. Bait ini memberikan petunjuk bahwa untuk mencapai buah dari pohon itu kita harus jadi anak gembala, apa yang kita gembala? ya diri kita sendiri yang perlu kita gembala, hawa kita, nafsu kita yng perlu kita gembalakan, kita didik dan kita jadikan kendaraan untuk bisa mencapai buah dari pohon toyyibah itu.
Susah susah ya ambil buah itu, meskipun susah buah dari pohon itu harus kita ambil untuk mencuci pakaian kita, pakaian dhohir? tetnu bukan, pakaian disini adalah pakaian Taqwa, pakaian taqwa ini harus kita cuci dengan buah dari pohon itu.
4. Dodotiro-dodotiro kumitir bedhah ing pinggir, Dondomono jlumatono kanggo sebo mengko sore Pakaian kita (taqwa) harus kita bersihkan, yang jelek jelek kita singkirkan, kita tinggalkan, perbaiki, rajutlah hingga menjadi pakain yang indah ”sebaik-baik pakaian adalah pakaian taqwa“. Kemudian jika pakaian kita sudah dibersihkan, sudah kita rajut sangat indah maka pakaian kita itu kita kenakan, kita pakai untuk kembali ke Tuhan (Inna LILLAH).
5. Mumpung padhang rembulane, mumpung jembar kalangane, Yo surako… surak hiyo… Bait ini mengingatkan kita untuk cepat-cepat bangun/sadar, cepat mengambil buah dari pohon toyyibah, kemudian mencuci pakaian dengan sari buah/air dari pohon toyyibah tersebut untuk mencuci pakaian kita (pakaian Taqwa). dengan pakaian Taqwa itu kita kembil ke Tuhan dengan menggunakan pakain yang indah. sehingga kita kembali ke pada-NYA sebagai Muttaqin.
Mumpung masih ada kesempatan, mari kita cepat-cepat untuk mengambil buah Itu, untuk bisa mencapai buah itu, kita harus bangun/sadar/nglilir dari tidak sadar/tidur, karena untuk mencapai buah itu sangat licin, mudah terpeleset jadi harus sadar, untuk bisa sadar harus Dzikir karena Dzikir itu untuk menyadarkan ruh kita dan mengingat Tuhan. (Keluar dari Lupa, masuk Kepada Ingat)
sehingga kita bisa mengambil buah itu, kita pakai untuk mencuci pakaian Taqwa kemudian kita
Inna LILLAHI wa Inna ILLAIHI ROJIUUN. “sesunggunya saya dari Alloh, dan kembali kepada Alloh”. Amiin
0 komentar:
Posting Komentar